Karakteristik Manusia dalam al-Quran
Manusia
adalah salah satu makhuk Allah SWT yang unik, ia bisa lebih mulia dari malaikat
namun bisa lebih hina dari hewan. Dalam Alquran, manusia terkadang digambarkan
sebagai makhluk yang mulia, hebat dan luar biasa. Namun, juga terkadang ia
digambarkan sebagai makhluk yang hina,
sombong dan tidak tahu diri. Hal itu terjadi karena manusia tidak hanya
dibekali akal, akan tetapi ia juga diberi nafsu. Sepanjang manusia bisa
mengendalikan nafsu itu maka ia akan menjadi sosok makhluk yang paling mulia.
Sebaliknya, ketika ia kalah dan diperbudak oleh nafsu maka sepanjang itu pula
manusia akan menjadi makhluk yang paling hina dan bahkan lebih hina dari hewan.
Ada
banyak sekali karakter manusia yang disinyalir dalam Alquran, baik
karakter terpuji maupun karakter tercela. Berikut ini adalah sebagian karakter
manusia yang dimuat dalam Alquran. Di antaranya sebagai berikut:
1.
Penanggung
jawab
Pada
dasarnya, manusia adalah makhluk penanggung jawab atas amanah yang dibebankan
Allah SWT kepadanya. Jika manusia menjaga amanah itu dengan baik maka ia akan
dibalas dengan ganjaran yang setimpal. Sebaliknya, jika ia lalai dan
mengabaikan amanah itu ia akan dihukum dengan hukuman yang berat. Mengenai
amanah ini, Allah SWT berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 72 yang berbunyi:
إِنَّا عَرَضْنَا ٱلْأَمَانَةَ
عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱلْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا
وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا ٱلْإِنسَٰنُ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولً
Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanat kepada langit dan bumi serta gunung, namun mereka
semuanya menolak untuk memikulnya, dan mereka takut tidak misa menunaikannya,
lalu manusialah yang memikulnya dan menanggungnya sekalipun dia lemah.
Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim dan bodoh terhadap dirinya sendiri.
Dalam
kitab Tafsir al-Quran al-Adzim, Ibnu Katsir menampilkan pendapat para
ulama terkait maksud kata "Amanah" yang dibebankan kepada manusia.
Imam al-Aufi berkata bahwa yang dimaksud "amanah" dalam ayat di atas
adalah ketaatan kepada Allah SWT. Sedangkan menurut Imam Ali bin Abi Thalhah
kata amanah dalam ayat di atas adalah kewajiban-kewajiban.[1]
Terlepas
dari hal itu, ayat di atas memberi pesan bahwa satu satunya makhluk yang
mengemban amanah itu adalah manusia. Amanah untuk melakukan ketataan terhadap
perintah dan menjahui segala apa yang dilarang. Dari sini dapat dipahami bahwa
secara fitrah manusia memang penanggung jawab atas amanah itu. Ia akan
mempertanggunh jawabkan segala apa yang ia kerjakan di hadapan Allah SWT
sekecil apapun.[2]
2.
Lemah
Manusia
adalah makhluk yang lemah. Lemah dalam arti tidak kuat menahan hawa nafsunya.
Ia cenderung lebih mudah menjadi budak nafsu ketimbang budak akal. Allah AWT
berfirmah dalam surat al-Nisa' ayat 28 yang berbunyi:
يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ
عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ ٱلْإِنسَٰنُ ضَعِيفًا
Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
Dalam
kitab Tafsir Jalalain, yang dimaksud lemah dalam ayat di atas adalah
tidak bisa menahan hawa nafsu terhadap perempuan dan kesenangan-kesenangan
lainnya.[3]Artinya,
manusia itu rentan terpedaya oleh rayuan setan sehingga terjerumus dalam
kedurhakaan. Oleh karena itu, manusia sangat butuh terhadap pertolongan Allah
SWT. Maka tidak heran jika dalam Islam Allah selalu mengajarkan ta'awudz kepada
manusia untuk dibaca setiap saat. Sebab, ketika manusia menyadari bahwa ia
lemah dan sedang berhdapan dengan musuh yang kuat (setan) maka ia akan meminta
perlindungan kepada Dzat Yang Maha Kuat, yakni Allah SWT.
3.
Kufur Nikmat
dan Tidak Tahu Diri
Ketika
Allah SWT memberikan nikmat yang begitu melimpah pada manusia ia sering lupa
diri dan tidak tahu berterima kasih. Allah SWT berfirman dalam surat Ibrahim
ayat 34 yang berbunyi:
وَءَاتَىٰكُم
مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا
تُحْصُوهَآ ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Dan
Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan
kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari
(nikmat Allah).
Saat
memaparkan ayat ini, al- Razi menjelaskan bahwa manusia itu makhluk pelupa.
Akibatnya, ketika diberikan nikmat oleh Allah SWT ia seringkali mengingkari dan
lupa bersyukur kepada Dzat Sang Pemberi nikmat. Di samping itu, terlalu banyak
nikmat yang telah Allah berikan sehingga cenderung membuay manusia lupa yanh
berakibat kufur nikmat.[4]
4.
Fitrah
beragama
Dari
awal, manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki fitrah beragama (Islam).
Allah SWT membekalinya kemampuan-kemampuan yang mampu mengantar ia pada
kesimpulan harus bertauhid. Mengesakan Allah dan menyucikannya. Allah SWT
berfirman dalam surat al-Rum ayat 30 yang berbunyi:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ
حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ
لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا
يَعْلَمُونَ
Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Thahir
bin Asyur, salah satu mufassir terkemuka asal Tunisia mengurai ayat ini dengan
lugas. Ia menegaskan bahwa manusia secara fitrah memang beragama. Artinya,
Allah membekali manusia dengan kemampuan untuk mengalisa ciptaan-Nya. Sehingga,
ia akan menyimpulkan eksistensi Tuhan melalu ciptaan-ciptaan itu. Allah
menciptkan ajaran-ajaran manusia berkesesuaian dengan fitrah. Bahkan, andaikan
manusia dan pikirannya dibiarkan sendiri, tidak diintervensi suatu keyakinan
apapun maka ia pasti akan sampai pada satu kesimpulan tauhid (mengesakan Allah)
dengan bekal fitrahnya.[5]
Selainempatkarakter
di atas, masih banyak karakter manusia
yang disebutkan dalam Alquran, seperti dzalim, bodoh, pelupa dan lain
sebagainya. Empat karakter itu hanya sebagian kecil dari karakter-karakter yang
lain.
[1]IbnuKatsir, Tafsir al-Quran al-AdzimVol 6
(Riyadh: Dar al-Thayyibah, 1999), 488.
[2]Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Insan fi al-Quran (Kairo:
Dar NahdlahMisr), 10.
[3]Jalaluddin al-SuyuthidanJalaluddin
al-Mahalli, TafsirJalalain(Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah), 83.
[4]Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-GhaibVol
5(Bairut: Dar al-Fikr), 357.
[5]Thahir bin Asyur, al-Tahrirwa al-TanwirVol 21
(Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah), 90.