Hadits mursal adalah sebuah hadits yang disandarkan
langsung oleh tabiin kepada Nabi tanpa menyebutkan sahabat, baik berupa ucapan,
tindakan, atau taqrir (ketetapan). Bisa jadi penyandaran langsung
tersebut dilakukan oleh tabiin besar, yaitu mereka yang banyak bertemu sahabat
dan sering meriwayatkan hadits dari mereka, semacam said bin musayyab. Atau,
oleh tabiin kecil, yaitu mereka yang pernah bertemu dengan salah satu sahabat,
semacam az-Zuhri. Bisa juga irsal dilakukan oleh seorang sahabat yang
menyandarkan langsung pada Rasulullah SAW., padahal ia sendiri tidak pernah
mendengar atau menyaksikan langsung dari Nabi SAW. Terhadap peristiwa yang ia
ceritakan. Hanya saja ia mengetahui hal itu dari sahabat lain, dan tidak
menyebutkannya ketika meriwayatkan hadits tersebut.
Pada dasarnya, hukum asal hadits mursal adalah daif dan
ditolak, karena tidak memenuhi syarat untuk dikatakan maqbul, berupa
persambungan sanad dari awal sampai akhir. Selain itu, dalam hadits mursal
tidak diketahui identitas rawi yang terbuang, karena bisa jadi yang terbuang
bukan dari kalangan sahabat, melainkan tabiin. Jika demikian, tentu ada
kemungkinan bahwa rawi tersebut lemah (daif). Namun, ada pertimbangan lain,
dalam hadits mursal sebagian besar yang terbuang adalah sahabat, sedangkan
sahabat semuanya ‘udul yang tidak
perlu dikorek lebih jauh kualitas dan integritasnya. Atas dasar pertimbangan
itulah, para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi status hadits mursal, dan
yang paling masyhur ada tiga pendapat.
1. Boleh digunakan sebagai hujah secara mutlak. Ini adalah
pendapat Abu Hanifah dan Malik bin Anas serta sejumlah fukaha, muhaddisin, dan
ahli usul fikih. Walaupun demikian, dari pendapat mereka tetap ada yang
menyaratkan harus diriwayatkan oleh rawi siqah. Sebab, kata mereka, seorang
tabiin yang siqah tidak mungkin mengatakan “Rasulullah bersabda” keculai ia
mendengar dari rawi siqah. Akan tetapi, dari pendapat ini sebagian mereka
berlebihan dalam menyanjung hadits mursal sehingga menguatkannya melebihi
hadits musnad. Ia berkata “ barang siapa meriwayatkan dengan isnad, maka ia
telah menyerahkan putusan kepadamu dan siapa yang yang meriwayatkan secara
mursal berarti ia telah menjamin bagimu”.
2. Hadits mursal adalah lemah (daif) dan tidak bisa digunakan sebagai hujah
(mardud). Ini adalah pendapat mayoritas muhaddis dan sebagian besar ulama usul
fikih. Dasar mereka, karena rawi yang terbuang tidak diketahui pasti, masih
dimungkinkan bukan dari kalangan para sahabat.
3. Dipilah; bisa diterima jika memenuhi syarat dan ditolak
jika sebaliknya. Ini merupakan pendapat asy-syafi’i dan sebagian ahli. Syarat
yang dimaksud adalah
a. Rawi yang memursalkan (musril) termasuk tokoh pembesar
tabiin.
b. Orang yang apabila menyebut orang yang meriwayatkan
mursal itu adalah orang yang siqah.
c. Para ahli hafal yang dapat dipercaya ikut serta
dengannya, dan tidak berselisih.
d. Tiga syarat di atas memuat salah satu dari empat hal
berikut: 1) hadis musral dikuatkan denga jalur lain secara musnad; 2) hadis
mursal dikuatkan jalur lain dari jalur mursal yang di-irsal-kan oleh
orang yang meriwayatkan dari hadis dari selain rawi yang meng-irsal; 3)
hadits mursal sejalan dengan pendapat sahabat; 4) sebagian besar ahli ilmu
berfatwa.
Semua ini berlaku pada hadist mursal yang dilakukan oleh
tabiin. Adapaun pada irsalus-sahabi semua syarat di atas tidak berlaku,
karena terbuangnya sahabat tidak perlu dipersoalkan. Sebagaimana diketahui,
salah satu pengetahuan nama seorang rawi adalah ingin mengetahui identitas dan
kualitas yang dimiliki. Adapun sahabat, hal itu tidak perlu dilakukan, sebab
semua sahabat ‘udul.
EmoticonEmoticon