Tanggapan Atas 5 Kesalahan Yang Sering Ditemukan Dalam Shalat Tarawih
Tulisan ini Kami buat dalam rangka menjawab tulisan salah satu situs Non Aswaja yang berjudul 5 kesalahan yang sering kita temukan dalam shalat tarawih. Dengan tegas mereka menyatakan bahwa amaliyah yang selama ini kita lakukan telah menyimpang dari arus. Padahal, menurut pemahaman kami, amaliah amaliah yang sudah mengakar di masyarakat akar rumput ini, sejatinya telah memiliki landasan hukum yang kokoh dan bisa dipertanggung jawabkan keahbsahannya. Hal ini, tidak lepas dari pelajaran pelajaran yang telah di tanam oleh para pendahulu kita yang pastinya memiliki pengetahuan lebih dibanding dengan mereka yang menganggap bahwa tradisi ini keliru dengan landasan tidak pernah dilakukan oleh Nabi S. A. W.
Demikian ini kami lakukan agar umat Islam Ahlusunnah wal jamaah tambah mantap dan yakin akan kebenaran ajaran yang mereka anut saat ini. Mungkin agar tidak terlalu panjang, kami akan langsung membahas tentang topik yang selalu mereka hujat. Sebagai berikut:
Yang pertama, dzikir berjamaah. Di dalam situs Non Aswaja tersebut (tidak bisa kami sebutkan) dijlentrenhkan bepata dilarangnya mengadakan halaqah dzikir (dzikir bersama) dengan mengutip pendapat bin baz, tokoh wahabi kontemporer. Mereka menyebutkan, praktek yang tepat adalah membaca dzikir sendiri-sendiri. Tidak boleh dilakukan secara berjamaah (kumpul), dengan alasan yang menurut Kami kurang ilmiah.
Padahal kalau kita mau membuka lagi kitab kitab Hadis yang telah direkam oleh para ulama yang memiliki kredibitas yang sangat tinggi akan ditemukan dalilnya. Contoh, sebagaimana hadis yang sebutkan dalam Shahih Muslim yang berbunyi:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم
Artinya:“Dari Abi Hurairah ra dan Abi Said al-Khudri ra bahwa keduanya telah menyaksikan Nabi saw beliau bersabda: ‘Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat menyelimuti mereka, dan ketenangan hati turun kepada mereka, dan Allah menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (H.R. Muslim).
Hadis di atas sudah sangat jelas mengajarkan kita untuk melaksakan dzikir secara berjamaah. Harusnya yang perlu di permasalahkan adalah ketika mengeraskan bacaan dzikir. Bukan hukum melakukan dzikir bersama. Sebab, memang ada beberapa hadis yang secara sepintas bertentangan: ada yang menganjurkan untuk dikeraskan dan ada pula yang menganjurkan agar dilirihkan. Tapi itu pun sudah ada tanggapan dari para ulama. Semisal imam Nawawi. Sebagaimana dalam kitab fathur rabbani disebutkan kesunnahan mengeraskan dzikir itu tergantung situasi dan kondisi. Maksudnya, jika mengeraskan dzikir dapat menyebabkan riya’ atau dapat mengganggu orang yangs sedang tidur, maka dianjur membaca dzikir dengan lirih. Namun, jika tidak ada masalah, maka yang lebih utama adalah membaca dengan keras, karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dan yang pastinya lebib banyak pahalanya.
Yang kedua, Melafadzkan niat puasa setelah sholat. Situs non aswaja tersebut mengutip pendapat imam nawawi dalam kitab raudhatut thalibin bahwa tempat niat itu di dalam hati, tidak disyarat untuk di ucapakan dan tidak ada perselisihan ulama tentang ini. Sekali lagi pendapat ini benar, hanya saja mereka (penulis di situs non aswaja tersebut) tidak teliti. Dalam kitab tersebut atau bahkan dalam kitab lain tidak ada penjelasan bahwa iman nawawi melarang melafadzkan niat. Beliau Cuma mengatakan tempat niat itu ada dalam hati, tidak harus di lafadzkan. Bahkan syekh abdullah asy-syarqawi di kitabnya, Hasyiah Asy-Syarqawi mengatakan “memang niat tidak harus dilafadzkan, cuman dianjurkan untuk dilafadzkan, karena akan membantu kemantapan hati dalam melaksanakan ibadah”.
Yang Ketiga, Memanggil jamaah dengan lafadz “asholatu jamiah” di antara sholat tarawih. Mereka mengutip pendapat dari madzhab hanbali tentang pengkhususan nida’ assholatu jamiah pada sholat kusuf dab id. Namun, kalau kita lebih belajar lagi, aturan dalam madzhab syafi’i lebih longgar. Dalam madzhab syafi’i di sebutkan sunnah mengumandangkan lafadz asholatu jamiah dalam setiap sholat yang dilaksanakan secara berjamaah seperti tarawih, sholat idul fitri dll selain sholat janazah dan sholat mandzurah. Lebih lengkapx lihat di kitab asnal matholib.
Yang ke empat, mengkhsuskan doa atau dzikir di sela-sela sholat tarawih. Dalam kasus ini, mereka menyalahkan praktek ini dengan dalih tidak ada dalil yaang mendukungnya. Padahal kalau kita baca literatur kitab hadis, kita akan menemukan bahwa Rasulullah S. A. W pernah mengkhsuskan ibadah atau doa pada waktu tertentu. Berikut redaksinya:
Hadits yang diriwayatkan oleh Suhail bin Abi Shalih al-Taimi:
كان النبي صلی الله علیه و آله يأتي قبور الشهداء عند رأس الحول فيقول: السلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار و
وكان ابو بكر و عمر وعثمان يفعلُون ذلك
“Nabi SAW mendatangi kuburan orang-orang yang mati syahid ketika awal tahun, beliau bersabda: “Keselamatan semoga terlimpah atas kamu sekalian, karena kesabaranmu dan sebaik-baiknya tempat kembali ke surga. “Shahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman juga melakukan hal yang sama seperti Nabi SAW.” (diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannaf, III/537 dan al-Waqidi dalam al-Maghazi).
Hadis di atas secara tegas membolehkan mengkhususkan amaliyah atau doa pada waktu waktu tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-imam ibnu hajar al asqalani. Lihat fathul bari juz 3 hal 69.
Yang kelima, ada doa yang berbunyi ASYHADU ALLA ILAAHA ILLALLAH WA ASTAGHFIRULLAH WA AS-ALUKAL JANNAH WA A’UDZU BIKA MINAN NAAR dianggap kesalahan. Padahal doa ini telah diajarkan oleh para ulama yang mumpuni dalam bidang agama jauh ketimbang mereka. Sebagaimana yang ada dalam kitab Kanz an-Najaah wa as-Surur fi ad-Ad'iyah al-Ma`tsurah allati Tasyrah ash-Shuduur karya al-‘Allamah asy-Syaikh Abd.hamid bin Muhammad ‘Ali bin Abd. Qadir al-Quddus al-Makki asy-Syafi’i. Toh meskipun dibilang doif masih tetap bisa diamalkan karna masuk kategori afdholul a’mal yang merupakan kriteria bolehnya mengamalkan hadis dhoif.
Mungkin cukup ini yang bisa kami paparkan. Semoga bisa menjadi jalan hidayah bagi kita semua. Amin yarobbal alamin.
EmoticonEmoticon