Sejarah Perkembangan Tafsir Falsafi
Pada saat
ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam
berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing
ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, sedangkan di
antara buku-buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku karangan para filosof
seperti Aristoteles dan Plato.[1]
Karena filsafat dianggap hal baru yang bisa mengeksplorasi pemikiran, mereka
sangat menyukai model pemikiran semacam ini.
Namun respon umat Islam tentu berbeda dalam menyikapi kemunculan
corak ini. Sehingga terbagi dalam dua golongan. Golongan pertama menolak
ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof tersebut.
Golongan ini tidak menyetujui tafsir falsafi karena beranggapan bahwa disiplin
ilmu filsafat banyak bertentangan dengan akidah. Mereka menolak ilmu-ilmu yang
bersumber dari buku-buku karangan filsuf. Mereka menyerang faham-faham yang
dikemukakan di dalamnya, membatalkan argumen-argumennya, dan mengharamkannya
untuk dibaca. Di antara penentang keras parafilsuf dan filsafat adalah Ḥujjah
al-Islām al-Imām Abū Ḥāmid al-Ghazālī yang mengarang sebuah kitab berujudul
al-Irshād untuk menolak paham mereka.[2]
Golongan kedua adalah mereka yang mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan dapat menerima sepanjang
tidak bertentangan dengan norma-norma (dasar) Islam, berusaha memadukan antara
filsafat dan agama dan menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara
keduanya.[3]
Selanjutnya, M. Husain Al-Dzahabi, menanggapi sikap golongan ini,
berkata “Kami tidak pernah mendengar ada seseorang dari para filosof yang
mengagung-agungkan filasafat, yang mengarang satu kitab tafsir al-Quran yang
lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian dari
pemahaman-pemahaman mereka terhadap al-Quran yang berpencar-pencar dikemukakan
dalam buku-buku filsafat karangan mereka. Jadi, keberagaman sikap dalam
penerimaan terhadap filsafat otomatis memberi pengaruh terhadap penerimaan
terhadap penafsiran dari sudut pandang filosof ini. Selain itu, munculnya
golongan memaksakan pemahaman ayat dengan teori filsafat membawa penafsiran
al-Quran ke arah yang masih diragukan kebenarannya,sehingga sebagian ulama
melarang penggunaan tafsir falsafi ini untuk dikonsumsi umat.[4]
Walaupun begitu tafsir falsafi ini
memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif
dari tafsir ini yaitu usaha pengkajian secara filsafat, ajaran yang dapat
dikonsumsi oleh cendikiawan, sekaligus memperlihatkan kebenaran ajaran Islam
yang membawa akibat kepada semakin meneguhkan keimanan. Namun dari sisi
negatifnya, yaitu ada celah kemungkinan pemaksaan ayat-ayat Alqur'an untuk
dicocokkan dengan suatu teori atau aliran filsafat tertentu.[5]
Oleh: Nurul Fitriyana, S. Ag
[1]Jani Rani, Kelemahan-Kelemahan
Dalam Manahij Al-Mufassirin, Jurnal Ushuluddin Vol. XVIII, No. 2, Juli 2012, 176.
[5]H. Muhammad Husin, Metodologi Penafsiran
Al-Qur’an, Jurnal Darussalam Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008, 100.
EmoticonEmoticon