Sunday, 29 November 2020

4 Karakteristik Manusia dalam al-Quran

 Karakteristik Manusia dalam al-Quran

Manusia adalah salah satu makhuk Allah SWT yang unik, ia bisa lebih mulia dari malaikat namun bisa lebih hina dari hewan. Dalam Alquran, manusia terkadang digambarkan sebagai makhluk yang mulia, hebat dan luar biasa. Namun, juga terkadang ia digambarkan sebagai  makhluk yang hina, sombong dan tidak tahu diri. Hal itu terjadi karena manusia tidak hanya dibekali akal, akan tetapi ia juga diberi nafsu. Sepanjang manusia bisa mengendalikan nafsu itu maka ia akan menjadi sosok makhluk yang paling mulia. Sebaliknya, ketika ia kalah dan diperbudak oleh nafsu maka sepanjang itu pula manusia akan menjadi makhluk yang paling hina dan bahkan lebih hina dari hewan.

Ada banyak sekali karakter manusia yang disinyalir dalam Alquran, baik karakter terpuji maupun karakter tercela. Berikut ini adalah sebagian karakter manusia yang dimuat dalam Alquran. Di antaranya sebagai berikut:

1.     Penanggung jawab

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk penanggung jawab atas amanah yang dibebankan Allah SWT kepadanya. Jika manusia menjaga amanah itu dengan baik maka ia akan dibalas dengan ganjaran yang setimpal. Sebaliknya, jika ia lalai dan mengabaikan amanah itu ia akan dihukum dengan hukuman yang berat. Mengenai amanah ini, Allah SWT berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 72 yang berbunyi:

إِنَّا عَرَضْنَا ٱلْأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱلْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا ٱلْإِنسَٰنُ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولً

Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit dan bumi serta gunung, namun mereka semuanya menolak untuk memikulnya, dan mereka takut tidak misa menunaikannya, lalu manusialah yang memikulnya dan menanggungnya sekalipun dia lemah. Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim dan bodoh terhadap dirinya sendiri.

Dalam kitab Tafsir al-Quran al-Adzim, Ibnu Katsir menampilkan pendapat para ulama terkait maksud kata "Amanah" yang dibebankan kepada manusia. Imam al-Aufi berkata bahwa yang dimaksud "amanah" dalam ayat di atas adalah ketaatan kepada Allah SWT. Sedangkan menurut Imam Ali bin Abi Thalhah kata amanah dalam ayat di atas adalah kewajiban-kewajiban.[1]

Terlepas dari hal itu, ayat di atas memberi pesan bahwa satu satunya makhluk yang mengemban amanah itu adalah manusia. Amanah untuk melakukan ketataan terhadap perintah dan menjahui segala apa yang dilarang. Dari sini dapat dipahami bahwa secara fitrah manusia memang penanggung jawab atas amanah itu. Ia akan mempertanggunh jawabkan segala apa yang ia kerjakan di hadapan Allah SWT sekecil apapun.[2]




2.     Lemah

Manusia adalah makhluk yang lemah. Lemah dalam arti tidak kuat menahan hawa nafsunya. Ia cenderung lebih mudah menjadi budak nafsu ketimbang budak akal. Allah AWT berfirmah dalam surat al-Nisa' ayat 28 yang berbunyi:

يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ ٱلْإِنسَٰنُ ضَعِيفًا

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.

Dalam kitab Tafsir Jalalain, yang dimaksud lemah dalam ayat di atas adalah tidak bisa menahan hawa nafsu terhadap perempuan dan kesenangan-kesenangan lainnya.[3]Artinya, manusia itu rentan terpedaya oleh rayuan setan sehingga terjerumus dalam kedurhakaan. Oleh karena itu, manusia sangat butuh terhadap pertolongan Allah SWT. Maka tidak heran jika dalam Islam Allah selalu mengajarkan ta'awudz kepada manusia untuk dibaca setiap saat. Sebab, ketika manusia menyadari bahwa ia lemah dan sedang berhdapan dengan musuh yang kuat (setan) maka ia akan meminta perlindungan kepada Dzat Yang Maha Kuat, yakni Allah SWT.

3.     Kufur Nikmat dan Tidak Tahu Diri

Ketika Allah SWT memberikan nikmat yang begitu melimpah pada manusia ia sering lupa diri dan tidak tahu berterima kasih. Allah SWT berfirman dalam surat Ibrahim ayat 34 yang berbunyi:

وَءَاتَىٰكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).

 

Saat memaparkan ayat ini, al- Razi menjelaskan bahwa manusia itu makhluk pelupa. Akibatnya, ketika diberikan nikmat oleh Allah SWT ia seringkali mengingkari dan lupa bersyukur kepada Dzat Sang Pemberi nikmat. Di samping itu, terlalu banyak nikmat yang telah Allah berikan sehingga cenderung membuay manusia lupa yanh berakibat kufur nikmat.[4]

4.     Fitrah beragama

Dari awal, manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki fitrah beragama (Islam). Allah SWT membekalinya kemampuan-kemampuan yang mampu mengantar ia pada kesimpulan harus bertauhid. Mengesakan Allah dan menyucikannya. Allah SWT berfirman dalam surat al-Rum ayat 30 yang berbunyi:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Thahir bin Asyur, salah satu mufassir terkemuka asal Tunisia mengurai ayat ini dengan lugas. Ia menegaskan bahwa manusia secara fitrah memang beragama. Artinya, Allah membekali manusia dengan kemampuan untuk mengalisa ciptaan-Nya. Sehingga, ia akan menyimpulkan eksistensi Tuhan melalu ciptaan-ciptaan itu. Allah menciptkan ajaran-ajaran manusia berkesesuaian dengan fitrah. Bahkan, andaikan manusia dan pikirannya dibiarkan sendiri, tidak diintervensi suatu keyakinan apapun maka ia pasti akan sampai pada satu kesimpulan tauhid (mengesakan Allah) dengan bekal fitrahnya.[5]

Selainempatkarakter di atas, masih  banyak karakter manusia yang disebutkan dalam Alquran, seperti dzalim, bodoh, pelupa dan lain sebagainya. Empat karakter itu hanya sebagian kecil dari karakter-karakter yang lain.

 



[1]IbnuKatsir, Tafsir al-Quran al-AdzimVol 6 (Riyadh: Dar al-Thayyibah, 1999), 488.

[2]Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Insan fi al-Quran (Kairo: Dar NahdlahMisr), 10.

[3]Jalaluddin al-SuyuthidanJalaluddin al-Mahalli, TafsirJalalain(Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah), 83.

[4]Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-GhaibVol 5(Bairut: Dar al-Fikr), 357.

[5]Thahir bin Asyur, al-Tahrirwa al-TanwirVol 21 (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah), 90.

Artikel Terkait

This Is The Newest Post


EmoticonEmoticon